Minggu, 31 Oktober 2010

Tugas Blog B.Indonesia

Sumber : Kompas, 10 Oktober 2010

JUDUL : MIGRASI PECEL DAN TEKLEK

Pecel, dawet atau cendol bahkan teklek alias terompah kayu itu telah menyatu dalam kehidupan rakyat Suriname. Dalam proses integrasi rupanya rakyat tidak perlu indoktrinasi yang muluk-muluk.

Tahoe, lontong, tjenil, nogosari, lemet atau mendoot. Itulah menu Waroeng Tante Pon yang dibuka diajang Indo-Fair di Paramaribo, Suriname. Panganan itu merupakan jajanan pasar, makanan rakyat yang banyak dijumpai dan populer di Suriname.

Memang tidak susah mencari masakan atau makanan di Suriname. Masuk saja ke sembarang “waroeng” sebutan untuk tempat makan di Suriname. Dan kita akan menemukan menu seperti pitjel atawa pecel, nasi goreng, bakmie goreng, saoto, sate pitik (ayam) sampe minuman dawet alias cendol.

“Tiyang cemeng nggih jajan pitjel woten mriki. Nggih remen kok – orang kulit hitam juga makan pecel disini. Suka juga kok”,kata Markati (62), pemilik Waroeng Toeti di Tamanredjo, daerah setingkat kecamatan di Distrik Commewijne, Suriname.

Rombongan delegasi Kebudayaan Indonesia yang datang ke Suriname pada akhir September lalu penasaran dengan pitjel “van” Suriname itu. Mereka mampir ke Waoreng Toeti dan rupanya rasanya sami mawon. Unsur pitjel tak beda dengan pecel yang banyak di jual di Indonesia, seperti bayam, taoge, dan kacang panjang plus lumuran sambal kacang.

Markati yang pensiunan pekerja perkebunan kebun tebu. Marienberg itu juga menyediakan saoto dan dawet. Waroeng Toeti juga menyediakan singkong rebus yang biasa disantap bersama ikan asin.

Toponimi

Jejak rasa Jawa juga terlihat dari nama-nama tempat. Kompas menyusuri wilayah setingkat kecamatan di Suriname yang menggunakan nama Jawa yaitu, Koewarasan. Wilayah ini dulu merupakan kawasan perkebunan yang banyak mempekerjakan imigran asal Jawa.

Koewarasan memang merupakan wilayah yang banyak dihuni warga Suriname keturunan Jawa. Kesenian Jawa banyak terdapat disana, seperti kelompok jaran kepang atau kuda lumping bersama Trimo Budi Santoso. Ada pula kelompok ludruk dan dalang wayang kulit.

Begitu juga di Distrik Commwijne, terdapat satu wilayah “kekuasaan” Jawa. Diantara wilayah yang berbau Belanda, seperti Alkmaar, Nieuw Amsterdam terselip nama kecamatan yang sangat Jawa ,yaitu Tamanredjo.

Sesuai nama, Tamanredjo memang banyak dihuni warga keturunan Jawa, termasuk keluarga Wagiman Amatmarto(68), generasi pertama yang lahir di Suriname. Orangtua Wagiman adalah pasangan Amatmarto dan Ngadirah yang berasl dari Purworejo, Jawa Tengah, yang bekerja di perkebunan tebu milik perusahaan gula Marienburg milik Nederlandse Handelsmaatschappij. Pada tahun 1890 perusahaan tersebut melakukan ekperimen dengan mendatangkan tenaga dari Jawa. Dari komunitas keturunan Jawa itulah muncul nama Tamanredjo.

Di Tamanredjo,Kompas menjumpai anak-anak yang cukup fasih berbahasa Jawa, seperti Steven Kartotaroeno(12) dan Murcelino Doelman(11).Mereka sedang penek’an atau bermain memanjat pohon.

Dan asal tahu,kepala pemerintahan Commewijne berdarah Jawa, yaitu Humprey Soekimo yang fasih berbahasa Jawa. Kebetulan Commewijne dan Yogyakarta sejak tahun 2009 menjalin kerjasama sebagai kota kembar,sister city .

Jangan kaget jika di Ibu kota Distrik Commewijne, yaitu Neiw Amsterdam, terdapat monumen berupa teklek atau bakiak alias alas kaki dari kayu dengan pengait terbuat dari karet ban bekas. Secara onomatopis, menurut telinga orang Belanda, teklek dinamai tip-tip. Monumen didirikan untuk memperingati kedatangan 94 imigran pertama dari Jawa pertama, 9 Agustus 1890, dengan kapal Prins Williem II.

“Pada saat itu sepatu sangat mahal, maka teklek telah terintegrasikan ke kelompok etnis lain,seperti kreol dan hindustan”. Demikian tertulis dalam monument teklek di depan kantor Distrik Commewijne.

Integrasi

Begitulah teklek dengan cepat beralih menjadi alas kaki kelompok etnis saat itu. Saat ini, nama-nama seperti Tamanredjo, Koewarasan bukan lagi nama asing bagi seluruh warga Suriname. Nama-nama Jawa itu menjadi bagian tak terpisahkan dari Suriname. Diam-diam integrasi telah terbentuk di bagian lini, termasuk juga kuliner.

“Kini saoto, pitjel, bakmi goreng bukan lagi menjadi masakan Jawa saja, tetapi telah menjadi national dishes- masakan nasional,” kata Stanley Sidoel, Direktur Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Republik Suriname, yang kebetulan bernenek moyang dari Solo dan Gunung Kidul.

“Kuliner itu menjadi contoh sederhana bagaimana sesuatu itu menjadi millik bersama. Kami sedang dalam proses national building,” kata Sidoel yang ditemui Kompas di ruang kerjanya di Paramibo yang terbuat dari kayu.

Kuliner seperti pitjel dan dawet yang menjadi makanan rakyat di negoro jowo itu rupanya telah berintegrasi ke dalam sebuah multietnis Suriname. Pada setiap pesta, pitjel selalu dihidangkan selain juga masakan asal India.

“Integrasi makanan sudah berjalan jauh di Suriname. Tak ada orang disini yang tidak kenal pitjel, bakmi, dawet. Etnis mana saja tahu itu.” Kata Bob Saridin, pemuka masyarakat Suriname keturunan Jawa yang pernah menjadi ketua Vereniging Hedenking Javanese Immigratie (VHJI) atau perhimpunan mengenang imigrasi Jawa. Bob mengakui, Suriname tidak memilki budaya asli. “Semua impor,” kata Bob yang fasih berbahasa Indonesia.

“Dalam integrasi, kami menampilkan budaya Jawa supaya etnis lain mempunyai pengalaman dengan budaya Jawa sebagai bagian dari bagian Suriname”,kata Bob.

Jangan heran jika orang Suriname suka nonton jaran kepang atau kuda lumping. Atau malah nyanyi lagu campur sari “Ing Setasiun Balapan-nya Didi Kempot.

Kesalahan – Kesalahan / Keterangan :

ª Teklek : Alas kaki dari kayu dengan pengait terbuat dari karet ban bekas (Bakiak)

ª Tahoe : Tahu

ª Sembarang : Ke setiap tempat

ª Waroeng : Warung (tempat makan)

ª Waroeng Toeti : Warung Tuti

ª Pitjel : Pecel

ª Saoto : Soto

ª Sami mawon : Sama saja

ª Tamanredjo : TamanRejo

ª Lumuran : Kuah

ª Penek’an : Memanjat Pohon

ª Nyanyi : Bernyanyi/ Menyanyi

ª Jaran kepang : Kuda Lumping

ª Negoro Jowo : Negara Jawa

ª Muluk – Muluk : Berlebihan

ª Tiyang cemeng nggih jajan pitjel woten mriki, Nggih remen : Orang Hitam (Negro) juga senang jajan (makan) pecel disini, senang juga.